Perubahan Sosial Masyarakat Islam; Studi Islam Postkolonial

 

Studi postkolonial (sering juga disebut dengan istilah “posko” atau “pascakolonial”) merupakan studi yang relatif masih baru dalam perkembangan ilmu sosial (Martono, 2011). Pandangan tersebut bagi sebagian kalangan mungkin terlihat baru, namun dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, utamanya ilmu-ilmu sosial, kajian postkolonial merupakan kajian keilmuan yang biasa terjadi dalam ranah ilmu sosial, sastra, budaya, dan kajian kemasyarakatan lainnya. Secara umum studi ini menawarkan sebuah perspektif dalam menganalisis dominasi Barat atas kelompok negara Timur, yakni negara Barat diposisikan sebagai kelompok Superior, sedangkan Timur sebagai kelompok Inferior. Studi postkolonial juga mencoba menganalisis posisi negara Timur akibat dominasi budaya Barat.

 

Studi postkolonial yang secara khusus mengkritik dominasi Barat atas Timur, mencapai puncaknya ketika buku Orientalisme karya Edward Said (1978) dirilis, merupakan salah satu buku yang membahas tentang bagaimana dikotomi pemikiran, budaya, sosial antara Barat dan Timur, mulai dari cara mereka hidup, bersosialisasi, termasuk cara beragama dan islamophobia. sebagai sebuah wacana, atau sebagai the corporate institution for dealing with the Orient, yakni sebagai cara atau gaya Barat untuk mendominasi, membentuk ulang, dan memiliki otoritas atas Orient (Timur). Berdasarkan pernyataan Said tersebut, maka secara tidak langsung orientalisme mengontruksi berbagai aspek pengetahuaa, budaya, dan cara berfikir Timur oleh Barat.

 

Dalam pandangan Foucolt (1980) pengetahuan diproduksi bukan secara bebas, yaitu dengan cara apa saja dan oleh siapa saja, namun selalu ada batas-batas mengenai apa yang bisa diterima sebagai ungkapan yang wajar dan “benar”, siapa yang memiliki otoritas untuk berbicara, di mana dan dalam konteks apa “kebenaran” dapat diungkapkan, dan sebagainya. Nah, dengan kata lain, pengetahuan bukan sebagai sesuatu yang secara alami telah ada, tapi sebagai sebuah ciptaan. Konteks kajian postkolonial berkeyakinan bahwa Orient (Timur) dan Occident (Barat) merupakan dua entitas yang masing-masing punya karakteristiknya sendiri (dengan catatan bahwa Occident selalu superior) sebagai bagian integral dari pemikiran Barat. Melalui wacana Orientalisme-nya Said, orang Barat bukan sekadar mendeskripsikan sesuatu yang sudah ada, tapi menciptakannya. Namun proses “menciptakan” tersebut tidak bersifat sekadar imajinatif, tapi punya wujud material yang sangat nyata, yaitu dominasi dan penjajahan.

 

Dalam dunia pendidikan islam di Indonesia secara khusus, misalnya, dikenal dengan istilah pesantren, tentu saja pesantren pada zaman dulu berbeda dengan pesantren di era sekarang yang relatif lebih modern, baik dalam lingkup pengelolaan atau tata kelola kelembangaan, maupun dalam praktik pendidikan. Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia tidak luput dari dakwah penjajah (kolonialisme) ini. Muncullah sekolah-sekolah formal warisan kolonial mulai merebut ‘pasar’ pesantren tradisional. Bukan hanya pasar santri (murid) sekolah formal ini juga mendapat dukungan penuh dari pemerintah dengan sistem kurikulum baku yang wajib dijalankan pada setiap instansi pendidikan formal. Kemudian dengan seiring berjalannya waktu, muncullah pesantren-pesantren yang mengadopsi sekolah-sekolah formal. Bahkan muncul pesantren yang dilabeli di belakang nama pesantren tersebut dengn kata ‘modern’. Dengan giatnya pesantren modern dalam mendalami ilmu-ilmu keislaman sekaligus ilmu-ilmu modern dari barat, tradisi-tradisi lama pesantren tradisional mulai kehilangan waktu dan tempat. Sehingga dapat dikatakan pesantren modern telah meninggalkan tradisi lama menuju sebuah tradisi yang benar-benar baru.

 

Namun, tidak seluruhnya pesantren yang menyebut instansinya modern serta-merta meninggalkan tradisi pesantren. tradisi pesantren tradisional (salaf) pada pesantren modern ini seperti ngaji kitab kuning khas pesantren, hingga adat yasinan dan tahlilan yang tetap lestari. Bahasan mengenai pesantren dengan kacamata postkolonialisme sudah banyak dilakukan, dalam berbagai macam kajian, para ahli menyebutkan bahwa, pertama, yang menyangkal bahwa kata ‘modern’ yang dipakai/disematkan oleh pesantren sebagai institusi yang takluk kepada Barat. Kedua. Menegaskan posisi pesantren modern sebagai prototipe pesantren ‘hybrid’ yang mampu mengadaptasikan modernitas Barat tanpa menghilangkan tradisi lokal yang berada di sekitarnya.

 

Teori postkolonialisme, misalnya yang dikemukakan oleh Bhabha (1990) mengadopsi teori ini dari Jaques Lacan (1975) yang lebih dikenal dengan teori Lacanian, yaitu mimikri. Dalam bahasa Indonesia secara mudahnya dapat diartikan sebagai meniru. Mimikri juga dapat berarti mengejek (mockery), karena ketika seekor hewan melakukan tindakan mimikri maka sesungguhnya dia sedang melakukan dua hal. Pertama, untuk melindungi diri dari serangan musuh, kedua, untuk mencari mangsa. Maka dalam kajian postkolonial mimikri bukan sebagai wacana untuk harmoni (selaras) dengan latar belakang (background). Tetapi mimikri adalah bentuk perlawanan kepada background dengan menjadi background berikutnya. Dalam kasus pesantren modern misalnya, modernitas ditempatkan sebagai sesuatu yang sulit untuk dihindari. Era keterbukaan informasi dan kemajuan manajemen sebuah lembaga menjadikan institusi apapun itu harus mampu bersaing dengan pasar yang ketat. Modernitas ini dicabut dari lokal Barat untuk ditiru pesantren dengan memodifikasinya agar tidak menjadi benturan dengan sisi tradisionalitas pesantren.

 

Seperti yang diungkap Natsir (2019) bahwa terdapat dua tahap dalam teori mimikri yang pertama proses othering, yaitu proses alienasi objek di depan subjek penjajah. Hal ini menjadikan sang objek bangga dengan dirinya sendiri bahkan menganggap sosok dirinya lah yang paling sempurna. Kesempurnaan yang dirasakan sang subjek penjajah ini berimbas kepada kampanye bahwa dirinya lah yang paling sempurna, hanya dialah yang layak menjadi kiblat (menundukkan) para objek yang dijajah. Pada tahap ini konsep modernitas dikembalikan kepada lokalitas dari mana konsep tersebut muncul, dan konsep tersebut merupakan konsep ‘yang sebenarnya lokal’ akan tetapi dianggap sebagai konsep tunggal yang meniscayakan kebaikan.

 

Tahap kedua yaitu hibriditas (hybridity) kelanjutan dari mirror stage ini, seseorang yang berkaca tersebut menjadi asing dengan dirinya sendiri. Dia mulai menyadari bayangan yang ada dalam cermin tersebut bukanlah dia yang asli. Dia menyadari ada subjek asing diluar dirinya yang mencoba menguasainya, kesadaran ini menjadikan subjek asing yang menguasai dirinya berubah 180 derajat menjadi objek yang patut untuk dipandang dengan menakutkan (decentres). Hibriditas dalam tulisan ini menjadikan jati diri pesantren berupa sisi tradisionalitas yang tetap dijaga dengan baik. Hal-hal berupa ngaji bandongan, hingga diba’an tetap dilaksanakan dengan baik.

 

Selanjutnya adalah persoalan gender, penghadiran perempuan dunia terjajah dalam konteks kekinian atau globalisme perlu dilihat sebagai satu kecurigaan terhadap situs-situs ideologis yang melatarbelakanginya. Kapitalisme atau wacana global menjadi bagian dari konstruksi yang dibangun dan dikenalkan oleh kolonialisme. Identitas subjek yang ada dalam kehidupan sosial tersebut tidak tampak atau “sengaja” tersembunyi. Identitas perempuan sebagai kesatuan ciptaan menjadi bagian yang berarti untuk melihat wacana dan konstruksi yang sedang dimainkan dengan cara menghadapi wacana kolonialisme kekinian. Dalam banyak kasus kecendrungan perempuan Barat menganggap bahwa perempuan dalam tradisi Islam dikekang kebebasannya, hak-hak yang didapatkan oleh perempuan Islam tidak sama dengan hak yang didapatkan oleh laki-laki.

 

Oleh sebab itu, mayoritas wanita atau orang Barat memiliki pandangan negatif tentang gender dalam perspektif Islam (islmophobia base gender). Tentunya hal ini berbeda dengan pengetahuan keagamaan yang selama ini diajarkan dalam Islam, bahwa kedudukan perempuan dalam Islam ialah setara dengan laki-laki. Pengetahuan ini misalnya secara terus-menerus dikuatkan bahwa perempuan dalam agama Islam memiliki kedudukan yang mulia dan setara dengan laki-laki, sebab Tuhan tidak membedakan makhluknya berdasarkan jenis kelamin. Kesetaraan yang dimaksudkan oleh teks ini adalah tetap mengakui perbedaan alami, entitas, dan identitas umat manusia. Kemuliaan manusia bukan pada jenis kelamin tetapi pada orang yang paling bertakwa. Islam menempatkan perempuan sebagai inspirator bagi kekuatan iman dan moral.

 

Ainur Rahman merupakan Alumnus Pascasarjana UNY Program Studi Bahasa & Sastra Indonesia. Pria yang akrab disapa Rahman itu menyelesaikan studi strata satunya (S1) di Unira Pamekasan, sekarang mengabdi di lembah ASOKA, STIDAR.

Bagikan ke :

1 Comment

Leave a Comment